Torehan tinta Si Galau
Curahan hati di penghujung malam yang baru sempat tertulis
saat matahari tertawa terbahak-bahak
Awal kumengenal jalan ini terasa sangat manis. Tersenyum aku
jika mengenangnya. Wajah yang polos, tingkah yang kekanak-kanakan, sifat yang
labil, dan ah, masih banyak lagi. Di balik semua kehancuran diri, senang
rasanya bisa mengenal dan bercengkrama dengan kalian, ukhtiku.
Aku ingat waktu pertama kali menginjak garis start di jalan
ini. Aku melihat kalian menyertaiku. Semangatku terbakar oleh takbir kalian,
wahai akhwat tangguh. Hatiku tenang melihat senyum kalian, duhai muslimah
sholehah. Sungguh, tak ada satupun wanita di dunia ini yang mampu mengalahkan pesona
kalian di mataku.
Seperti peringatan di awal garis start bahwa perlombaan ini
tak singkat. Jalan dan jarak yang harus kita tempuh tak hanya memakan waktu,
tapi juga menghabiskan usia. Kita tahu resiko itu dan kita berani mengambilnya
karena keyakinan kita sama bahwa ukhti maupun aku tak akan membiarkan salah
satu dari kita berjalan sendiri melewati jalan berliku nan beronak ini. Namun
seiring berjalannya waktu, detik, menit, jam, hari, minggu, bulan bahkan tahun,
ujian pun datang silih berganti. Seperti biasa, semuanya berhasil dilalui.
Walaupun taraf perjuangannya berbeda-beda. Aku senang Allah menguji kita. Itu
berarti kita bisa naik tingkat bersama-sama.
Tapi akhir-akhir ini terasa ada yang berbeda. Hambar dan
hampa menghampiri hatiku. Aku tak tahu apakah ukhti juga merasakannya atau
tidak. Yang pasti, semakin hari semakin menyesakkan. Aku bertanya, apakah ini
yang dianamakan Titik Jenuh? Apakah aku telah sampai pada tahap ini? Tapi bukan
aku. Aku masih tetap berdiri di sini. Ukhti! Ukhti yang aku rasakan
mengalaminya. Astaghfirullah al’adzim… Aku telah bersu’udzon. Afwan ukhti. Tapi
benar, perasaan ini tak terelakkan. Batinku berkata begitu. Sekarang aku mulai
bertanya, kemana saja kau? Mengapa tak berjalan bersamaku lagi. Bukan maksudku
mengatakan kita tak sejalan lagi atau tak pernah jalan bersama lagi. Tapi aku
ingin bertanya, mengapa sering kali kau menghilang dari pandanganku? Apakah kau
‘sakit’? Kalau iya, aku benar-benar ingin menjadi perawatmu. Beri tahu aku
kabarmu! Jangan diam saja dan membuat aku berpikiran yang macam-macam
tentangmu. Gampang saja bila kau ingin memberiku kabar, tinggal mengirimi aku
pesan kalau kau tak bisa menelpon. Kalau pulsamu habis, kau bisa CM kan? Apa
itu sulit bagimu ukhti? Tolong jangan biarkan aku bersu’udzon. Bukankah aku
selalu mengirimimu kabar? Bukankah aku selalu membalas pesanmu secepat mungkin?
Lalu mengapa kau tak melakukan yang demikian terhadapku? Afwan sekali lagi jika
aku mulai menuntut.
Ukhti, aku ingin bertanya. Jawablah dengan jujur. Apakah
kau masih merasakan ‘rasa’ itu? Apakah ruang yang dulu kutempati di relung
hatimu masih menjadi milikku? Apakah ukurannya berubah? Semakin sempit atau
bertambah luas? Tidak hilang kan? Tak ada ada yang menggantikanku kan? Apakah
ini semua kesalahanku? Apakah aku membuatmu terluka tanpa sepengetahuanku,
ukhti? Katakanlah! Apakah selama kita jalan bersama, kau merasa aku berjalan
terlalu cepat hingga meninggalkanmu? Atau kau lelah dan ingin beristirahat
sejenak, tapi tidak memberitahuku? Ataukah ada alasan lain? Ayolah ukhti,
katakan padaku. Kau tahu sendiri kan pikiranku ini berbeda dengan kebanyakan
orang di luar sana. Dia sangat tak terkendali terhadap suatu kejanggalan.
Tolonglah ukhti…
Aku pernah mendengar bahwa “Allah memberikan cinta
tertinggi-Nya kepada orang-orang yang saling mencintai karena-Nya…” Oh, aku tak
ingin Allah berpaling dariku karena rasa cintaku yang mulai terkikis terhadapmu,
ukhti. Aku tahu ini hanya sandiwara langit. Bahkan seandainya bumi bisa
berteriak kepadaku, dia akan mengatakan bahwa bodoh sekali aku jika terperdaya?
Namun apa boleh buat? Kau pun tak berusaha mencegahku tenggelam dalam pikiran
ini ukhti. Aku membutuhkanmu. Bahkan jika kau tak mampu berenang dan membantu
menarikku keluar dari arus deras ini, paling tidak kau bisa menyemangatiku di
tepi agar aku bisa menggerakkan kaki dan tanganku sendiri untuk menyelamatkan
diri.
Tolong… jangan biarkan aku terlarut dalam hati dan pikiran
busuk ini. Sungguh ukhti, ANA UHIBBUKIFILLAH. Rasa ini masih tetap sama seperti
ketika pertama kali kita bertemu. Bahkan semakin dalam. Karena aku telah
mengenalmu dan mencoba mengertimu. Tapi terkadang sisi lemahku memonopoli
hingga akhirnya aku mencurigaimu. Jadi ukhti, kira-kira apa yang akan kau
lakukan agar aku tak merasakan hal yang paling kubenci ini? Aku butuh jawabanmu
saat ini juga! Katakanlah saudariku. Aku sangat ingin mendengarnya. Agar
batinku sakinah lagi.