Jangan Ragu Untuk Memulai, Jangan Takut Untuk Mengakhiri Dan Jangan Lelah Untuk Mencari

Tempatkan Senyum Dalam Setiap Langkah

Sinari Amal Dengan Niat Ikhlas

Yakinlah! Semua Akan Indah Pada Waktunya

Karena Orang Yang Paling Bahagia Di Dunia Ini Adalah Orang Yang Bisa Menciptakan Kebahagiaan

MUSLIMAH

MUSLIMAH

Jumat, 18 Juli 2014

UKHTI, JANGAN BIARKAN AKU BERSU’UDZON



Torehan tinta Si Galau
Curahan hati di penghujung malam yang baru sempat tertulis saat matahari tertawa terbahak-bahak



Awal kumengenal jalan ini terasa sangat manis. Tersenyum aku jika mengenangnya. Wajah yang polos, tingkah yang kekanak-kanakan, sifat yang labil, dan ah, masih banyak lagi. Di balik semua kehancuran diri, senang rasanya bisa mengenal dan bercengkrama dengan kalian, ukhtiku.
Aku ingat waktu pertama kali menginjak garis start di jalan ini. Aku melihat kalian menyertaiku. Semangatku terbakar oleh takbir kalian, wahai akhwat tangguh. Hatiku tenang melihat senyum kalian, duhai muslimah sholehah. Sungguh, tak ada satupun wanita di dunia ini yang mampu mengalahkan pesona kalian di mataku.
Seperti peringatan di awal garis start bahwa perlombaan ini tak singkat. Jalan dan jarak yang harus kita tempuh tak hanya memakan waktu, tapi juga menghabiskan usia. Kita tahu resiko itu dan kita berani mengambilnya karena keyakinan kita sama bahwa ukhti maupun aku tak akan membiarkan salah satu dari kita berjalan sendiri melewati jalan berliku nan beronak ini. Namun seiring berjalannya waktu, detik, menit, jam, hari, minggu, bulan bahkan tahun, ujian pun datang silih berganti. Seperti biasa, semuanya berhasil dilalui. Walaupun taraf perjuangannya berbeda-beda. Aku senang Allah menguji kita. Itu berarti kita bisa naik tingkat bersama-sama.
Tapi akhir-akhir ini terasa ada yang berbeda. Hambar dan hampa menghampiri hatiku. Aku tak tahu apakah ukhti juga merasakannya atau tidak. Yang pasti, semakin hari semakin menyesakkan. Aku bertanya, apakah ini yang dianamakan Titik Jenuh? Apakah aku telah sampai pada tahap ini? Tapi bukan aku. Aku masih tetap berdiri di sini. Ukhti! Ukhti yang aku rasakan mengalaminya. Astaghfirullah al’adzim… Aku telah bersu’udzon. Afwan ukhti. Tapi benar, perasaan ini tak terelakkan. Batinku berkata begitu. Sekarang aku mulai bertanya, kemana saja kau? Mengapa tak berjalan bersamaku lagi. Bukan maksudku mengatakan kita tak sejalan lagi atau tak pernah jalan bersama lagi. Tapi aku ingin bertanya, mengapa sering kali kau menghilang dari pandanganku? Apakah kau ‘sakit’? Kalau iya, aku benar-benar ingin menjadi perawatmu. Beri tahu aku kabarmu! Jangan diam saja dan membuat aku berpikiran yang macam-macam tentangmu. Gampang saja bila kau ingin memberiku kabar, tinggal mengirimi aku pesan kalau kau tak bisa menelpon. Kalau pulsamu habis, kau bisa CM kan? Apa itu sulit bagimu ukhti? Tolong jangan biarkan aku bersu’udzon. Bukankah aku selalu mengirimimu kabar? Bukankah aku selalu membalas pesanmu secepat mungkin? Lalu mengapa kau tak melakukan yang demikian terhadapku? Afwan sekali lagi jika aku mulai menuntut.
Ukhti, aku ingin bertanya. Jawablah dengan jujur. Apakah kau masih merasakan ‘rasa’ itu? Apakah ruang yang dulu kutempati di relung hatimu masih menjadi milikku? Apakah ukurannya berubah? Semakin sempit atau bertambah luas? Tidak hilang kan? Tak ada ada yang menggantikanku kan? Apakah ini semua kesalahanku? Apakah aku membuatmu terluka tanpa sepengetahuanku, ukhti? Katakanlah! Apakah selama kita jalan bersama, kau merasa aku berjalan terlalu cepat hingga meninggalkanmu? Atau kau lelah dan ingin beristirahat sejenak, tapi tidak memberitahuku? Ataukah ada alasan lain? Ayolah ukhti, katakan padaku. Kau tahu sendiri kan pikiranku ini berbeda dengan kebanyakan orang di luar sana. Dia sangat tak terkendali terhadap suatu kejanggalan. Tolonglah ukhti…
Aku pernah mendengar bahwa “Allah memberikan cinta tertinggi-Nya kepada orang-orang yang saling mencintai karena-Nya…” Oh, aku tak ingin Allah berpaling dariku karena rasa cintaku yang mulai terkikis terhadapmu, ukhti. Aku tahu ini hanya sandiwara langit. Bahkan seandainya bumi bisa berteriak kepadaku, dia akan mengatakan bahwa bodoh sekali aku jika terperdaya? Namun apa boleh buat? Kau pun tak berusaha mencegahku tenggelam dalam pikiran ini ukhti. Aku membutuhkanmu. Bahkan jika kau tak mampu berenang dan membantu menarikku keluar dari arus deras ini, paling tidak kau bisa menyemangatiku di tepi agar aku bisa menggerakkan kaki dan tanganku sendiri untuk menyelamatkan diri.
Tolong… jangan biarkan aku terlarut dalam hati dan pikiran busuk ini. Sungguh ukhti, ANA UHIBBUKIFILLAH. Rasa ini masih tetap sama seperti ketika pertama kali kita bertemu. Bahkan semakin dalam. Karena aku telah mengenalmu dan mencoba mengertimu. Tapi terkadang sisi lemahku memonopoli hingga akhirnya aku mencurigaimu. Jadi ukhti, kira-kira apa yang akan kau lakukan agar aku tak merasakan hal yang paling kubenci ini? Aku butuh jawabanmu saat ini juga! Katakanlah saudariku. Aku sangat ingin mendengarnya. Agar batinku sakinah lagi.

FUTUR



Wahai jiwa…
Apa kabarmu?
Masihkah kau setia bersama raga yang menjaga ibadahmu?
Masihkah kau sejalan dengan raga yang menjaga syariat-Nya?
Wahai hati…
Apa yang engkau rasakan sekarang?
Apakah terasa hampa, hambar, sedu, sedih, menangis, menjerit?
Apakah semua sakit itu kau rasakan?

Ada apa dengan dirimu?
Sudikah kau mengorbankan segalanya untuk sebuah tawaran murahan?
Kemana pikiranmu merajalela saat ini?
Adakah dia memikirkan tentang ummat?
Atau hanya berpikir tentang kesenangan semata?
Kemana kata indah yang terangkai karena kecintaan kepada Allah, Rasul dan dakwah?
Kemana?
Aku tak lagi menemukannya pada dirimu
Adakah cinta itu masih milik-Nya?
Atau telah menjadi milik makhluk-Nya yang hina?
Jawab aku!
Jangan terdiam wahai teladan yang meninggalkan kehormatannya

MENARI DI TENGAH BADAI



Masih saja orang-orang itu sibuk membicarakan hal yang tidak penting. Mengenai keputusanku untuk bergabung dalam sebuah jama’ah, mereka terus menentangnya. Apakah salah jika aku ingin memperbaiki diri? Heran! Saat ini… Semakin banyak saja orang yang tidak mempercayai agamanya sendiri. Selalu berburuk sangka kepada orang lain yang tak lain saudara seaqidahnya. Mengatakan Islam terorislah. Islam fanatiklah. Muslimah yang menutup auratnya dibilang sok alimlah. Dan lihat! Betapa gengsinya mereka menginjakkan kaki di rumah Allah. Padahal setiap saat mereka selalu pergi ke tempat-tempat maksiat. Huh, payah! Mau saja dibodohi oleh penipu di luar sana.
Yah, kuakui bahasaku memang sedikit kasar untuk hal di atas. Dan pasti kau akan mengatakan bahwa tak seharusnya aku berkata seperti ini. Lalu apa? Kau sudah tahu mana yang benar bukan? Sekarang, buka matamu baik-baik! Berubahlah! Kenapa semakin hari kau semakin buruk saja? Tidakkah kau merasa hidupmu sia-sia? Apa yang bisa kau lakukan dengan waktu yang tersisa?
Ah, pikiranku! Aku merasa tak mampu mengendalikannya akhir-akhir ini. Kalau begini terus, aku bisa berakhir. Tapi, orang-orang itu tak ingin berhenti menghentikanku. Dan aku juga tak mau menyerah. Enak saja! Hidayah ini tak akan datang dua kali kepadaku. Jika aku melepaskannya sekarang, maka aku akan benar-benar kehilangan Tuhanku. Dan aku tidak ingin itu terjadi. Lemah sekali rasanya hidup tanpa Dia. Hemmm, aku rasa ini adalah pengungkapan cintaku pada-Nya. Tak apalah aku mengaku. Dia pun telah menunjukkan hal yang sama. Membiarkanku tetap dekat dengan-Nya, itu sudah lebih dari cukup. Karena aku tak berminat mengejar cinta yang lain. Jika hanya mengharap dari seorang makhluk, maka aku katakan zaman ini adalah zaman ketidakpercayaan. Terlalu murahan jika hanya mendapatkan itu. Aku ingin lebih! Cinta yang lebih mahal dari Yang Maha Mencintai. Cinta dari Pemilik Hati dan Cinta Tertinggi di jagad raya.