Pernah suatu ketika takdir mengiringku pada sebuah
kisah yang akan selalu menjadi pengalaman berharga sepanjang hidupku. Kisahku
ini berawal dari seorang kawan yang kukenal saat pertama kali menjajahkan kaki
di Sekolah Menengah Atas. Dia adalah salah seorang yang menginspirasiku untuk
menjadi penulis. Namanya, Dedy Arman. Dari namanya saja sudah bisa ditebak
kalau dia seorang laki-laki. Yah, dialah laki-laki pertama yang akrab denganku
dan sudah kuanggap sebagai saudara sendiri. Aku masih ingat ciri-cirinya. Dia
memiliki postur tubuh jangkung dan sangat langsing alias kurus, warna kulit
agak gelap, mata bulat sayu, dan jari-jari panjang yang setiap harinya dia
gunakan untuk menarik pipiku hingga aku meringis. Dia juga sering menegurku
karena aku suka makan banyak. Padahal jika diperhatikan, napsu makan yang
sebesar raksasa tidak seharusnya dimiliki oleh kurcaci sepertiku. Dia kadang
menertawaiku karena hal ini.
Tapi dibalik kejailannya, ternyata dia adalah
pesaing yang tangguh dan cerdas. Itu terbukti dari keberhasilannya menduduki
jabatan sebagai wakil ketua kelas dan peringkat satu pun berada dalam
genggamannya. Masih banyak hal menarik darinya yang tidak mampu kutorehkan
dalam tulisan ini. Karena mengenang itu semua rasanya membuatku ingin
meneteskan air mata. Kalian tahu, kenapa aku mengatakan, “aku hanya bisa
mengenang”? Yah, karena kawanku ini telah tiada. Dia telah kembali ke
pangkuan-Nya.
Hari itu, seminggu setelah pengumuman peringkat di
kelas, kami mengadakan upacara. Menurut isu yang beredar di kalangan
teman-temanku, lima murid yang mendapatkan peringkat tertinggi di kelas akan
ditransmigrasikan ke kelas unggulan. Saat nama-nama itu disebutkan tidak
sedikit dari teman-temanku yang menangis, begitu juga aku. Rani dan aku
dipindahkan ke kelas X.2, sedangkan Dedy dan Ana dipindahkan ke kelas X.1. Kami
sempat melayangkan protes kepada guru-guru karena kami tidak ingin berpisah
dengan teman-teman kami di kelas yang lama. Tapi aspirasi kami ditolak. Inilah
ketentuan yang harus ditaati semua warga sekolah.
Mulai saat itu, keakrabanku dengan Dedy memudar.
Komunikasi kami juga berkurang. Dan ketika berpapasan di jalan pun kami hanya
tersenyum tanpa bertegur sapa. Hingga terakhir kudengar kabar bahwa dia sedang
sakit dan aku tidak pernah menjenguknya sekalipun karena terlalu sibuk dengan tugas
sekolah dan ulangan harianku. Sampai suatu sore, aku menerima pesan singkat
yang sangat mengejutkan dari temanku. Dedy telah berpulang ke Rahmatullah
karena menderita penyakit hemofili. Aku terdiam. Aku merasa dadaku sangat
sesak. Aku tidak tahu apakah aku terlalu sedih sehingga tidak mampu meneteskan
air mata.
Keesokan harinya, aku dan teman-temanku ke rumahnya
untuk melayat. Air mataku meluap saat melihat tubuh jangkungnya terbaring kaku,
wajahnya yang tak lagi menertawaiku saat makan banyak dan jari-jari tangannya
yang tak mungkin mencubit pipiku lagi. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku merasa
sangat kehilangan sosok yang selama ini sudah kuanggap sebagai saudaraku
sendiri. Hari yang kelam itupun berakhir di pemakaman dan ditutup oleh malam
yang penuh dengan taburan bintang.
Beberapa hari kemudian, aku dan teman-temanku
kembali mendatangi rumah duka. Di sana kami disambut ramah oleh ibu dan kakak
perempuan Dedy. Beliau menceritakan semua tentang keseharian Dedy. Dan apa yang
kudengar selanjutnya membuat aku semakin tertegun. Ternyata bukan hanya Dedy
yang menderita hemofili dalam keluarganya. Dia juga memiliki seorang kakak
laki-laki yang telah pergi mendahuluinya saat menduduki bangku SMP. Yang aku
tahu, hemofili adalah penyakit keturunan yang ditandai dengan darah yang sukar
membeku saat luka, dimana penyakit ini biasanya hanya menyerang laki-laki
sedangkan perempuan hanya sebagai pembawa gen. Pada umumnya penderita penyakit
ini telah divonis tidak akan mampu melewati umur 16 tahun, tapi Dedy beruntung
masih bisa bertahan sampai kelas X SMA.
Setiap malam ibunya pulang balik ke kamar anaknya
hanya untuk memeriksa apakah Dedy tidak terbentur atau tergores sesuatu saat
tertidur. Sedangkan kami di sekolah dengan leluasa memukul dan mencubit
lengannya saat bercanda, tapi dia tidak pernah mengeluh dan memberitahu kami
bahwa dia mengidap penyakit mematikan itu. Setiap hari dia selalu bersemangat
ke sekolah, debat di kelas adalah favoritnya, matematika sebagai sarapan
paginya, menjadi dokter merupakan impiannya, dan dibalik kecerdasan
intelektualnya, dia juga memiliki spiritual yang keren. Rajin beribadah di saat
anak seusia kami masih banyak yang melalaikan shalat. Dan yang lebih
mengagumkan lagi, di tengah teman laki-laki lain yang sedang tergila-gila oleh
kecanggihan transportasi, Dedy tidak pernah minta dibelikan motor oleh orang
tuanya. Dia lebih memilih jasa tukang ojek untuk mengantarnya ke sekolah dan
demi menghemat uang belanja, jalan kaki di tengah terik matahari dari sekolah
ke rumahnya sejauh 2 km pun tak menjadi masalah baginya. Dan menjelang ajalnya,
dia masih sempat mengagetkan tetangga dan seisi rumahnya dengan suara adzannya
yang sangat keras. Subhanallah...
Dedy... Dedy! You
are my inspiration, sobat. Sejak saat itulah aku berniat menulis kisah
fantastis tentangmu, tapi baru sekarang tersampaikan karena telah
didahului oleh tulisan-tulisan lainnya
termasuk novelku yang telah terbit April tahun ini.
Dedy, aku belajar banyak arti hidup darimu. Di
tengah takdir yang menantimu, kau tetap tawakkal, tegar, dan terus berusaha
menjadi yang terbaik. Aku belajar bahwa hidup itu bukan bagaimana kita berdiam
diri untuk menunggu takdir menjemput kita, akan tetapi bagaimana kita berusaha
mempersiapkan diri menjemput takdir yang akan datang kepada kita. Karena
kematian adalah satu-satunya hal yang pasti di dunia, maka tanpa ditunggu pun
dia akan datang.
Aku sangat berterima kasih dan bersyukur kepada
Allah SWT. yang telah mempertemukan aku dengan orang seperti kawanku itu. Dedy,
aku yakin kau bisa melihat tulisan ini. Semoga kau bahagia di sisi-Nya. Dan
semoga suatu saat nanti kita bisa bertemu di jannah-Nya. Amin..
Didedikasikan
untuk:
Alm.
Dedy Arman