Jangan Ragu Untuk Memulai, Jangan Takut Untuk Mengakhiri Dan Jangan Lelah Untuk Mencari

Tempatkan Senyum Dalam Setiap Langkah

Sinari Amal Dengan Niat Ikhlas

Yakinlah! Semua Akan Indah Pada Waktunya

Karena Orang Yang Paling Bahagia Di Dunia Ini Adalah Orang Yang Bisa Menciptakan Kebahagiaan

MUSLIMAH

MUSLIMAH

Rabu, 04 April 2012

KETIKA HATI MEMILIH



CINTA! Siapa yang tak kenal dengan kata itu. Karena cintalah dunia ini tercipta. Karena cintalah Adam dan Hawa dipertemukan. Dan karena cinta pulalah kita dilahirkan. Menelusuri lebih dalam lagi ke naluriah, ‘desir’ itu tak pernah sirna dari hati kita. Manusia! Terlebih lagi kepada Sang Pemilik Cinta. Satu-satunya yang memberi cinta lebih dari yang kita beri.
Kata orang, cinta adalah konsep sepanjang hidup. Jika dicermati memang tak ada salahnya. Sejak manusia pertama diciptakan hingga akhir dunia kelak, cinta adalah satu-satunya yang tidak akan ditenggelamkan oleh zaman. Hanya saja porsinya akan berlebihan dari masa ke masa, tapi tetap akan kembali seperti semula. Karena perjalanan hidup bagaikan roda yang terus berputar, maka cinta pun akan seperti itu. Tak berpenghujung.
“Ya Allah, ukhti! Ana sudah berkali-kali mendengar kalimat-kalimat tentang cinta itu. Apakah ukhti masih belum bosan membacanya setiap hari?” tegurku pada sahabatku.
“Bukankah cinta itu lumrah untuk kita, para manusia? Lagipula cinta adalah konsep sepanjang hidup loh, ukhti.” bela Aina pada dirinya.
“Iya. Ana mengerti. Tapi tidakkah ada pembahasan lain yang dapat kita bicarakan selain hal itu? Rasanya masih terlalu dini membicarakan masalah ‘desir’ itu. Ana takut, jika hal itu membakar hawa nafsu di hati-hati kita (kalangan aktivis dakwah) sehingga zina akan menghujam perasaan, pikiran dan mata kita. Terlebih lagi jika kita sudah membalut hawa nafsu itu dengan kata cinta yang bukan arti sesungguhnya. Tidakkah hal itu bisa menjatuhkan kita dan dakwah kita?”
“Astagfirullah al’adzim.. Ukhti benar. Tapi ukhti terlalu cepat bersu’udzan. Cinta itu tidak terbatas pada apa yang kita lihat sekarang (cinta kepada lawan jenis), tapi makna cinta itu sangat luas bahkan terbentang di sepanjang hamparan sawah, langit khatulistiwa, gemuruh angin, padang ilalang, samudera dan lautan, savana, hutan dan pegunungan serta oase yang memberi kesejukan dan kehidupan kepada gurun pasir yang tandus. Itulah makna cinta, ukhti. Dan tidak menutup kemungkinan akan lebih dari itu. Cinta kepada Allah, Rasulullah, orang tua, keluarga dan yang sedang kubicarakan sekarang adalah cinta kepadamu ukhti!”
Subhanallah! Aku tersentak dan berdecak kagum seraya kupandang Aina dengan senyum yang menyelidik. Sejak membaca buku-buku tentang cinta, sahabatku ini berubah karakter 180 derajat menjadi orang yang sangat puitis.
Aku pun meraih pundaknya. “Ana uhibbukifillah, ukhti (aku mencintaimu karena Allah, saudariku). Afwan telah su’udzan. Sungguh, ana tak bermaksud menyinggung perasaan ukhti. Tapi sekarang, bisakah kita membahas hal lain?” kataku sambil tersenyum kepadanya.
Aina memanyunkan bibiranya kemudian menarik sudut matanya ke atas dan menempelkan jari telunjuk ke dahinya sebagai pertanda bahwa dia sedang berpikir.
“Ukhti! Ukhti Zahra!” teriak seseorang dari belakang.
Aku berbalik dan menatap wajah orang yang memanggilku barusan. Dia tampak kesulitan mengatur pernapasannya. Mungkin karena dia kelelahan setelah berlari.
“Iya, akhi. Ada apa?” tanyaku.
“Afwan ukhti, ana mengganggu!” serunya sambil masih terus menarik napas panjang.
“Na’am, akhi. Tidak apa-apa. Oya, ada yang bisa ana bantu?”
“Iya. Begini ukhti, ba’da ashar nanti kita ada ta’liman di MesKam (Mesjid Kampus). Pematerinya itu adalah teman dari Kak Ditya dan katanya dia berasal dari Jakarta. Kalau tidak salah, dia lulusan sastra Arab di UI. Tapi saya lupa namanya. Dan maksud ana memanggil ukhti tadi karena ana ingin meminta tolong kepada ukhti. Ukhti tolong sebarkan sms mengenai ta’lim ini kepada semua kader akhwat. Ukhti bisa kan?”
“Insya Allah, ana bisa. Tapi kenapa akhi tidak memberitahu ana melalui pesan singkat saja. Itu kan lebih baik daripada harus setengah mati berlari seperti ini?”
“Na’am, ukhti. Sebenarnya tadi ana juga bermaksud demikian, tapi barusan hp ana lowbet. Jadi daripada membuang waktu, lebih baik ana menyampaikannya sekarang kepada ukhti.”
Aku dan Aina tertawa mendengar penjelasan Iwan barusan. Betul-betul ikhwan yang gigih. Iwan adalah teman seangkatan kami di kampus. Pertama kali bertemu pada saat Latihan Kepemimpinan LDK, aku sudah bisa menebak kalau dia adalah ikhwan yang sangat anti melalaikan amanah dan juga yang paling bersemangat diantara kader ikhwan seangkatan kami.
“Baiklah kalau begitu akhi. Kami mohon pamit dulu. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.”
Aku dan Aina kembali melanjutkan perjalanan pulang kami yang sempat terhambat tadi. Aku melirik Aina yang berjalan menunduk sambil tersenyum. “Ukhti kenapa?” tanyaku.
Aina berbalik dan menanggapiku santai. “Tidak ada apa-apa, ukhti.”
Aku mengernyitkan kening. Aku kembali melihatnya dan dia masih tersenyum sendiri. Aku tahu apa yang membuatnya seperti itu, batinku. Hanya saja aku tidak ingin membicarakannya karena kutahu itu akan menimbulkan zina hati yang amat besar. Sekali lagi aku tidak ingin melibatkan diri. Dan juga sahabatku.
Setelah sampai di rumah segera kusebar jarkom mengenai acara ta’liman nanti. Tak lama berselang, ponselku berbunyi. Kulihat layar ponselku. Ada pesan dan pengirimnya menggunakan nomor baru.
Assalamu’alaikum, ukhti. Afwan mengganggu. Ana ingin meminta tolong kepada ukhti dan ana harap ukhti bersedia membantu. Tolong ukhti persiapkan makanan untuk pemateri ta’lim nanti ya. Jazakillah. Ditya.
Aku tertegun sebentar. Kak Ditya mengirimiku pesan? Baru kali ini ikhwan itu menghubungiku. Pantas saja yang masuk nomor baru. Tunggu! Dari mana dia mendapat nomorku? Apakah dia berusaha mencari tahu? Atau mungkin dia salah nomor. Yang benar saja. Apakah..? Ah, kurasa tidak mungkin. Wajar saja kan? Dia hanya ingin meminta tolong. Tidak ada hal aneh yang perlu dikhawatirkan. Ya Allah, batinku sedang berkecamuk.
Kalian tahu kenapa aku begitu tegang dan gugup setelah menerima pesan dari Kak Ditya? Karena diantara seluruh ikhwan senior hanya dia yang belum pernah menghubungiku. Jangankan sms, bertegur sapa saja seingatku hanya sekali. Setelah itu usai. Dan diantara beberapa ikhwan senior, dialah yang paling ‘dikagumi’ oleh para akhwat. Semua perilaku dan tingkahnya menjadi pembicaraan harian mereka, bahkan yang bukan kader sekalipun. Ya, kutahu ini tidak layak dipublikasikan. Tapi kurasa aku juga ‘sedikit mengagumi’ karakternya yang agak cuek dan berwibawa.
Aku segera membalas sms-nya. Walau kuyakin sebenarnya tidak pantas juga  menggunakan kata segera karena aku baru membalasnya 30 menit setelah berputar-putar sebentar dengan otak, pikiran dan prasangkaku.
Wa’alaikumsalam. Na’am akhi. Insya Allah, ana akan siapkan. Sebelumnya, ana waiyakum.
Selama beberapa menit aku menunggu balasannya, tapi aku yakin dia tidak akan membalas pesanku. Dan ternyata, dugaanku benar. Aku pun segera membersihkan diri lalu mengambil air wudhu untuk shalat ashar. Setelah itu aku harus memesan cathering untuk pemateri.
* * * * *
Aku tiba 15 menit sebelum acara dimulai. Alhamdulillah, kuantitas akhwat yang hadir masih banyak seperti biasanya. Semangat mereka memang patut diacuni jempol. Walaupun sibuk dengan tugas-tugas kuliah dan pelajaran untuk persiapan semester, mereka tetap menyempatkan diri untuk bermajelis ilmu agama dengan ikhwafillah yang lain. Inilah salah satu hal yang membuatku bangga menjadi bagian dari mereka. Meski terus berjuang dengan urusan dunianya, tapi mereka tidak pernah melalaikan urusan akhiratnya. Ya Allah, ukhuwah yang kami jalin. Semoga selamanya. Aamiin, doaku dalam hati.
“Aku tidak boleh kalah dengan mereka. Walaupun urusan skripsi dan ujian mejaku belum selesai, bukan berarti aku tidak bersemangat lagi ikut ta’lim.” lirihku sembari tersenyum.
Ku jejakkan langkahku memasuki ruangan masjid dan tak lupa memberi salam untuk ukhtifillah yang ada di sana. Aina belum juga datang. Aku mencoba menghubunginya, tapi ponselnya tidak aktif. Ada apa sebenarnya?
Pemateri sudah datang sekitar 5 menit yang lalu. Mikrofon dinyalakan dan moderator membuka acara dengan doa kafaratul majelis. Dan saat curriculum vitae pemateri dibacakan, aku mendengar nama yang tak asing di telingaku.
Khairul Mushab. Apakah itu..? Ah, tidak mungkin dia. Aku yakin! Pemateri pun membuka ceramahnya. Ya Allah, suara itu? Dia benar Kak Khairul yang kucurigai tadi. Kak Khairul, kakak kelasku waktu SMA. Aku tersenyum haru dan hormon adrenalinku kembali memacu jantungku untuk berdenyut lebih cepat lagi.
Hari itu adalah hari dimana siswa-siswi kelas XII SMA 2 sedang merayakan kelulusannya. Saat acaranya usai, aku mendapat telpon dari seseorang dan orang itu Kak Khairul. Katanya ada sesuatu penting yang ingin dia bicarakan denganku. Saat itu aku adalah juniornya yang duduk di bangku kelas XI IPA 2. Setelah menutup telponnya, entah mengapa aku merasa gugup dan muncul perasaan tak tenang di hatiku. Aku mulai tersenyum sendiri. Apakah ini..?
Aku mencoba menepis rasa itu. Tidak mungkin dan belum saatnya. Kuteguhkan hati untuk menemui seniorku itu di taman belakan sekolah. Waktu itu, aku masih amma (belum paham agama) sehingga aku menemuinya sendirian dan setelah tiba di sana, aku pun melihatnya juga sendirian. Dia tersenyum dan aku membalasnya dengan sedikit gugup. Dia mempersilahkanku duduk di sebuah bangku panjang di bawah pohon mangga. Kami duduk berdua. Tentu saja jaraknya tidak sedekat yang kalian kira (jangan su’udzan ya!). Hehehehe. Lama kami terdiam, akhirnya Kak Khairul membuka pembicaraannya.
“Hmm... Bagaimana dengan ujianmu?” tanya Kak Khairul dengan nada terbata-bata.
Apa? Dia memanggilku hanya untuk menanyakan itu?, batinku sedikit kecewa. “Yah, baik kak. Kakak sendiri bagaimana? Saya dengar kakak kembali menduduki peringkat 1 umum ya?”
Kak Khairul tersenyum. Dia tersenyum kepadaku. “Gosip begitu cepat tersebar ya? Tapi Alhamdulillah, aku masih diberi kesempatan untuk menduduki posisi itu. Kau sendiri masih menjadi yang terbaik juga kan?”
“Alhamdulillah, aku juga masih diberi kesempatan untuk menduduki posisi itu.” kataku mengutip kalimat Kak Khairul.
Setelah mendengar ucapanku, dia pun tertawa dan aku ikut tertawa bersamanya. Tak lama berselang, kebisuan kembali menyelimuti suasana tenang di taman itu. Hanya terdengar suara burung yang bercakap-cakap di ranting pohon dan suara gemericik air di kolam ikan. Tiba-tiba ponselku berdering. Aku menerima pesan singkat dari Aina. Oh, dia memang sahabat terbaikku. Kami berteman dari awal masuk SMA sampai ke bangku perkuliahan. Aku tersentak membaca sms-nya. Mataku membulat.
“Maaf kak, saya harus pulang. Ada teman saya yang mengalami kecelakaan.”
“Innalillah. Baiklah kalau begitu. Tapi... apa perlu kuantar?”
Jantungku kembali berdegup tak karuan. Ada perasaan bahagia di hati kecilku. Aku pun tersenyum. “Tidak usah, kak. Saya akan pergi bersama Aina. Kalau begitu, saya pulang dulu.”
Aku segera mengambil ranselku dan berlari meninggalkan Kak Khairul yang masih terpaku menatapku. Di ujung koridor, langkahku terhenti. Aku berbalik dan tersenyum kepada seniorku itu. “Terima kasih atas penawarannya kak!” kataku seraya menunduk.
Sebagai balasannya, aku mendapat senyuman dan lambaian tangan darinya. Aku senang dan tanpa kuduga, itulah terakhir kalinya aku bertemu dengannya sebelum kudengar kabar bahwa dia dinyatakan lulus di jurusan Sastra Arab, UI. Dan dia memilih untuk kuliah di sana.
Dan hari ini, aku kembali mendengar suaranya di balik hijab sana. Tapi sekarang, tak mungkin aku menemuinya seperti dulu lagi. Apalagi dia bukan mahromku dan pertemuan seperti itu sama sekali tidak dibenarkan oleh agama. Aku menggigit bibir bawahku menyesalkan pertemuan yang dulu itu.
“Menurut ukhti, apa tanggapan Kak Khairul setelah melihat perubahan ukhti?” kata seseorang di dekat telingaku.
Aku terkejut dan berbalik. Kubulatkan mataku karena heran. “Aina?”
“Iya ukhti.” jawabnya santai seperti biasa.
“Sejak kapan ukhti di sini?” aku balik bertanya.
“Sejak tadi. Apakah benar, dia Kak Kha...” aku langsung menutup mulut Aina dan menahannya cukup lama. Karena takut dia berontak, aku pun melepaskannya. Kulihat dia agak kesulitan mengatur pernapasannya.
“Afwan ukhti. Ana tidak bermaksud melakukan hal ini kepada ukhti, tapi tolong mengerti. Tak seharusnya kita membahas hal seperti ini di tempat suci ini.” jelasku.
Aina menatapku sebentar kemudian menunduk. Aku pun mengusap pundaknya dan tersenyum.
Ta’lim selesai tepat pada pukul 17.30 WITA. Aku dan Aina memutuskan untuk shalat maghrib di Meskam saja. Setelah shalat, kami berdua akan langsung pulang. Ketika memasang sepatu di teras Meskam, aku melihat Kak Ditya dan Kak Khairul keluar dari pintu Meskam sambil bercakap-cakap. Aku menatapnya sekilas dan dia pun tanpa sengaja berbalik. Aku dan Aina tersenyum kepadanya sedangkan dia mengerutkan kening dan menghampiri kami. “Assalamu’alaikum. Afwan, apakah bettul ukhti berdua ini adalah Zahra dan Aina.” tanyanya.
“Wa’alaikum salam. Iya betul, akhi.” Aina yang menjawab.
“Suhanallah.. Ana tidak menyangka kita akan bertemu lagi di tempat ini.”
Aku dan Aina kembali tersenyum. Akhi Ditya pun mendekati kami. Ya Allah, jantungku berdegup lagi. “Afwan. Kalian sudah saling kenal?” tanya Kak Ditya kepada kami.
“Na’am akhi. Beliau adalah senior kami di SMA dulu.” kali ini aku yang menjawab. “Kalau begitu, kami permisi pulang dulu akhi. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.” jawab Kak Khairul dan Kak Ditya bersamaan.
Di jalan, aku dan Aina sama sekali tidak berminat membahas masalah yang tadi. Kami hanya berdiam diri satu sama lain. Aku sendiri sedang bertanya-tanya, apakah perasaanku yang dulu telah kembali? Dan jawabannya, hampa.
Keesokan harinya aku kembali dikejutkan oleh pesan singkat dari murabbiku yang menginstuksikan adanya tarbiyah mendadak. Setelah berkumpul di meskam, beliau kemudia bercerita bahwa ada seorang ikhwan telah mengajukan proposal kepada seorang akhwat di kelompok kami. Aku dan Aina tercengang, begitupun teman-temanku yang lain. Jantungku mengamuk lagi.
“Zahra!” murabbiku menyodorkan proposal itu kepadaku.
Mataku membelalak. Semua mata tertuju kepadaku. Astagfirullah al’adzim, murabbiku ini memang tidak berbakat berbasa-basi. Aku membuka proposal itu perlahan dengan tangan gemetar. Aku menghembuskan napas berat. Benar namaku yang tertulis di dalam sana. Seketika aku merasa badanku lemas. Aku memandang murabbiku yang sedang tersenyum manis kepadaku. Itu artinya tidak boleh ada penolakan. Kesepakatan kami, niat baik seorang ikhwan tidak boleh ditolak. Tapi yang menjadi permasalahannya, skripsiku belum kelar dan tinggal dua bulan lagi ujian meja. Dan selanjutnya aku harus menjalani serangkaian acara ta’aruf. Ya Allah...
“Kak Ditya?” ucap Aina mengagetkanku.
“Apa?” aku buru-buru merebut proposal itu dari tangan sahabatku. Yang benar saja, aku belum sempat membaca nama ikhwan yang mengajukan proposal itu. Aku menelan air liurku yang terasa sangat pahit. Kepalaku berputar, perutku melilit, otot-ototku menegang dan mataku meneteskan air mata haru. Teman-temanku berhambur memelukku.
“Selamat ya, ukhti. Ukhti beruntung sekali mendapatka ikhwan sebaik akhi Ditya.” kata-kata itulah yang tidak berhenti terucap dari mulut mereka.
Aku hanya tersenyum menanggapinya. Entah apa yang berkecamuk di pikiranku saat ini. Di satu sisi aku merasa menjadi perempuan yang paling beruntung bisa dilamar oleh ikhwan yang banyak dikagumi para akhwat, tapi di sisi lain pikiranku tertumpu pada sosok yang sempat menarik hatiku. Ikhwan yang kutemui kemarin, Kak Khairul.
Malam itu mataku tidak bisa terpejam. Sampul kasurku sudah lusuh karena terus kutarik-tarik daritadi. Besok pagi aku harus memberi keputusan dan tadi aku telah membicarakannya dengan kedua orang tuaku. Mereka mengatakan setuju dan selanjutnya terserah aku. Ya Allah.. Aku pusing.
Ponselku berdering. Aku melihatnya, nomor baru lagi. “Halo, assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam. Afwan, bisa bicara dengan ukhti Zahra?”
“Iya, ana sendiri. Ini dengan siapa?”
“Ana, Khairul.”
Apa? Aku serasa tercekik.
“Halo? Apakah ukhti masih mendengar ana?”
“Na’am. Kalau boleh tahu, ada apa akhi menelpon malam-malam begini?”
“Afwan mengganggu sebelumnya. Ada yang ingin ana katakan kepada ukhti.”
Ya Allah, dadaku semakin sesak. Zinakah yang kulakukan ini? Bagaimana ini? Seseorang telah bersedia membayar maharku, pantaskah jika aku mempermainkannya? Tapi bagaimana dengan perasaanku kepada orang yang satunya lagi? Akhir-akhir ini aku memang merasa ada yang aneh setiap kali bertemu dengan Kak Ditya dan kupikir aku juga mulai menyukainya. Yah, suka dalam arti yang sesungguhnya. Tapi orang ini, kenapa dia harus muncul lagi? Apa yang harus aku lakukan, ya Allah?
“Halo? Halo, ukhti.”
“Eh, afwan akhi. Sebelumnya ana juga ingin menyampaikan sesuatu kepada akhi.” kata-kata itu mengalir begitu saja dari mulutku.
“Kalau begitu, ukhti bicara saja duluan.”
Aku menarik napas panjang. “Sahabat akhi mengajukan proposal ta’aruf kepada ana. Akhi Ditya.”
Ya Allah, apakah aku melakukan kesalahan. Sempat terdengar suara keterkejutan dari Kak Khairul. Maaf kak, tapi cintaku sekarang bukanlah untukmu, batinku perih.
“Oh, begitu. Alhamdulillah. Oya kalau dari saya sendiri, insya Allah besok pagi saya akan kembali ke Jakarta.” katanya gugup.
“Kalau begitu, akhi hati-hati. Ana titip salam untuk om dan tante juga Kak Liska.”
“Na’am. Ukhti, saya titip akhi Ditya ya. Jika tiba waktunya untuk akad nikah, jangan lupa undang ana.”
Aku tertawa. Entah mengapa aku bisa tertawa di tengah sakit seperti ini. “Insya Allah akhi. Ana minta doanya.”
“Aamiin. Semoga Allah tetap memberikan yang terbaik untuk kita.”
Yah, Allah memang telah menakdirkan yang terbaik untuk kita. Dan takdirku bukanlah engkau akhi.
“Baiklah. Sepertinya kita harus menyudahi pembicaraan kita. Ana juga harus istirahat untuk persiapan perjalanan besok. Assalamu’alaikum, ukhti.”
“Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.” Aku menutup telponku dengan berlinang air mata. Inilah jalan yang telah kupilih. Aku tidak akan menyesal.
Dalam jangka dua bulan, skripsiku akhirnya selesai. Aku teha melalui tahap walimahan dengan Kak Ditya dan ujian mejaku pun telah usai. Tiga hari setelah wisuda, kami akan melangsungkan akad nikah di Mesjid Agung Makassar. Kemudian resepsi di rumah kami masing-masing. Dan selama dua bulan itu juga, aku mendapat kabar yang cukup mengejutkan dari Kak Khairul. Katanya setelah sampai di Jakarta, orang tuanya tiba-tiba memperkenalkannya dengan seorang gadis cantik dan alim. Gadis itu adalah anak dari teman ayahnya yang dijodohkan dengannya. Dan mereka telah melangsungkan pernikahannya mendahului kami. Selain mengejutkan, kupikir ini cukup menjadi kabar bahagia buatku. Kenapa? Karena jika aku membiarkan Kak Khairul menyatakan tujuannya malam itu, maka dia akan pusing karena harus dihadapkan pada dua pilihan. Dan aku sangat bersyukur Allah tidak memberi kami cobaan rumit itu. Semuanya indah seperti air yang mengalir tenang di sungai-sungai.
Resepsi pernikahan pun tiba. Kak Khairul datang didampingi istrinya yang sangat cantik, seperti model. Dia memang akan menyesal jika menolaknya. Hehehehe.
“Ciyeee.. Selamat ya. Akhirnya kesampaian juga cita-cita ukhti Zahra selama ini.” canda Aina saat bersalaman denganku.
“Maksudnya?” tanya Kak Ditya penasaran.
“Iya akhi. Istrimu ini sudah lama mengidamkan bersanding dengan akhi.” jawab Aina spontan sampai membelalakkan mataku. Menurutku, dia agak tidak sopan dan sangat to the point.
Setelah mendengar jawaban itu, aku merasa Kak Ditya melirikku sambil tersenyum. Senyum misteri itu lagi. Entahlah aku sendiri tidak berani menatapnya karena malu memperlihatkan wajahku yang bersemu merah lagi. Ternyata Kak Ditya dapat membaca ketidaknyamananku. Dia pun balik mencandai Aina. “Yah, ana rasa.. Waktu untuk ukhti juga akan tiba.”
Aina mengerutkan keningnya diikuti aku yang juga kaget mendengar pernyataan itu. “Maksud akhi, apa?” tanya Aina.
Kak Ditya menjawab lagi, “Insya Allah, akhi Iwan akan segera mengajukan proposal!”
“Apa?” Aina tersentak. Sangat tampak keterkejutan yang nyata dari raut wajahnya. “Benarkah?” lirihnya kembali.
Aku dan suamiku hanya tertawa mengamati sekaligus menanggapi ekspresi luar biasa dari wajah sahabatku itu. Yap, satu sama. Suara berdehem tiba-tiba membuyarkan keseruan kami. Aku, Aina dan Kak Ditya berbalik ke sumber suara itu. Masya Allah. Antriannya panjang sekali. Aina kembali menunduk malu. Dia yang menyadari bahwa dirinyalah penyebab dari antrian itu segera menggeser kakinya beberapa langkah kemudian berjalan meninggalkan kami. Aku sempat melihatnya di samping ibuku dan beberapa saat kemudian dia menghilang diantara kerumunan tamu yang sedang mengambil makanan. Aku tersenyum di dalam hati. Beribu pertanyaan pasti sedang melayang-layang di kepala Aina saat ini. Sepertinya, ada yang tidak akan tidur nyenyak malam ini. Hehehehe.
Aku berbalik menatap suamiku. Murabbiku benar. Untuk mendapatkan pemimpin dan pendamping hidup yang baik, kita tidak perlu mendahului takdir kita (pacaran) karena Allah telah menyediakan yang terbaik untuk kita sejak lahir. Hanya saja kita perlu menunggu sejenak sampai tiba saatnya. Seperti kuncup bunga yang akan mekar saat mentari menyinarinya, pelangi yang akan muncul setelah hujan reda, dan kepompong yang akan berubah menjadi kupu-kupu cantik. Semua telah diatur dan semua akan indah pada waktunya. Jadi pastikan kita memilih takdir yang baik. (^_^)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar