Jangan Ragu Untuk Memulai, Jangan Takut Untuk Mengakhiri Dan Jangan Lelah Untuk Mencari

Tempatkan Senyum Dalam Setiap Langkah

Sinari Amal Dengan Niat Ikhlas

Yakinlah! Semua Akan Indah Pada Waktunya

Karena Orang Yang Paling Bahagia Di Dunia Ini Adalah Orang Yang Bisa Menciptakan Kebahagiaan

MUSLIMAH

MUSLIMAH

Jumat, 06 April 2012

SEPUCUK SURAT



Sore ini aku tidak ke lumbung untuk mengumpulkan padi yang tadi siang kujemur bersama pekerja lainnya di desaku. Aku telah meminta izin kepada mandorku. Aku lebih memilih untuk mengunjungi sebuah tempat sepi yang dihiasi dengan batu berukir dan bunga kamboja putih yang setiap harinya mekar. Tempat itu terletak tak jauh dari masjid di kampungku dan biasanya hanya ramai pada saat hari-hari raya umat muslim. Ya benar, aku sedang berada di tempat pemakaman. Aku duduk bersimpuh di depan sebuah nisan sambil mencabut rumput-rumput liar yang mulai menutupi makam itu. Hari ini adalah hari peringatan kematian ibuku.
Tiga tahun silam pada saat aku berusia 14 tahun, tepat pada hari itu aku berada di sekolah dan menanti pengumuman hasil ujian nasional SMP. Aku merasa sudah tidak sabar lagi. Aku ingin segera pulang dan memperlihatkan hasil kerja kerasku kepada ibu selama tiga tahun ini. Akhirnya setelah menunggu selama beberapa menit, hasilnya pun keluar dan diumumkan secara besar-besaran oleh pihak sekolah. Dan kalian tahu, aku mendapat nilai yang memuaskan. Bahkan sangat memuaskan. Aku bukannya ingin pamer, tapi alhamdulillah seperti biasa aku mendapat peringkat satu umum.
Aku sumringah ketika teman-temanku menyalamiku dan memberiku ucapan selamat atas keberhasilanku. Dan aku tetap sumringah ketika bersalaman dengan guru-guruku sampai rasanya gigiku sudah kering karena aku tidak pernah menutup bibirku. Aku sudah tidak sabar memperlihatkannya kepada ibu. Aku berlari pulang ke rumah dari sekolah yang berjarak satu kilometer tanpa pernah berhenti sekalipun untuk beristirahat. Aku merasa sangat bersemangat. Dalam benakku sudah terbayang wajah ibu yang menangis terharu sambil memelukku. Ibu pasti sangat senang dan bangga kepadaku.
Aku pun tiba di rumah. Biasanya jam segini ibu belum berangkat ke sawah. Aku melihat pekarangan, tapi tidak ada tanda-tanda ibu di sana. Mungkin dia sedang memasak di dapur. Aku melangkah masuk ke dalam rumah. Rasanya ada yang aneh dengan suasana di sini. Aku memegang dadaku dan merasakan jantungku yang tiba-tiba berdetak tak karuan. Aku mempercepat langkahku ke arah dapur. Aku memanggil-manggil nama ibu, tapi tak ada jawaban. Aku berbalik dan mencarinya ke kamar, tapi hasilnya masih nihil. Aku mulai khawatir. Saat aku melangkah ke kamar mandi, aku melihat sebuah rambut panjang terurai milik ibu. Aku berlari menghampirinya. Aku meremas jari tanganku dan menggigit bibir bawahku. Astagfirullah al’adzim... Ibuku dalam keadaan tidak sadarkan diri. Aku pun berlari keluar rumah sambil berteriak minta tolong. Beberapa tetangga yang mendengar panggilanku segera menghampiriku. Setelah melihat keadaan ibuku, mereka memutuskan untuk membawanya ke Puskesmas terdekat. Aku menangis dan terus menangis. Seorang perempuan setengah baya bernama Bi Asih sudah mencoba menenangkanku, tapi aku tetap tidak mampu mengontrol emosi dan air mataku. Tidak lama kemudian, seorang dokter keluar dari rungan ibu dan menyatakan permohonan maafnya. Aku membulatkan mataku. Air mataku mengalir deras bercucuran bersama keringat dan kepedihanku. Aku berlari memeluk ibu dan menciumi pipinya. Aku telah kehilangan malaikatku. Aku telah kehilangan orang yang sangat aku sayangi. Dia adalah satu-satunya keluargaku di dunia ini dan baru saja Allah mengambilnya dariku. Aku berteriak sekencang-kencangnya dan menangis sejadi-jadinya. Aku berharap suatu saat aku bisa membahagiakannya saat aku telah dewasa dan menjadi perawat seperti yang selama ini kucita-citakan. Aku berharap dia memberiku senyum khasnya saat aku memeriksa denyut jantungnya dengan stethoscope, meraba nadinya dan mengukur tekanan darahnya. Aku berharap bisa melakukan semuanya. Tapi kini harapanku telah sirna. Ibuku telah pergi untuk selamanya.
Tak terasa air mataku menetes dan membasahi makam ibu. Kejadian itu sudah sangat lama sekali, tapi aku masih sering menangis saat mengenangnya. Sekarang aku hidup sebatang kara dan sudah bekerja. Tapi bukan sebagai perawat melainkan sebagai buruh tani yang mengais rezeki di sawah orang. Setelah kematian ibu, mau tidak mau aku harus berjuang menghidupi diriku sendiri dan karena alasan ini pula aku putus sekolah. Orang-orang desa yang kasihan melihatku sering memberiku sembako dan bahan makanan lainnya. Karena tidak enak untuk menolak, aku memilih untuk membalas kebaikan mereka dengan bekerja di sawahnya. Dulu semasa hidupnya ibu sering mengajakku ke sawah. Biasanya aku diajari untuk memotong dan menjemur padi. Itu adalah satu-satunya kemampuan yang diturunkan ibu kepadaku. Di balik itu semua, sedikit pun aku tidak pernah sosok seorang ayah. Aku juga tidak pernah menanyakan hal itu kepada itu karena terakhir aku ingin mencari tahu tentang ayah, ibuku menangis sehingga aku mengurunkan niat untuk mengetahuinya lebih lanjut.
Setelah selesai membersihkan makam ibu, aku menaburinya bunga mawar kesukaanku dan berdoa untuk ibuku di surga Allah. Di tengah kekhusyukanku, seseorang memanggilku dari belakang. Ku akhiri doaku dengan kata ‘amin’ lalu kubalikkan kepalaku ke asal suara itu. Bi Asih telah berdiri di belakangku ditemani seorang perempuan yang terlihat asing. Sepertinya dia bukan penduduk desa ini. Itu terlihat dari cara berpakaiannya yang sedikit modern. Bi Asih pun bertanya apakah aku membawa suratnya. Dan aku mengiyakannya. Seminggu setelah kematian ibu dulu aku menemukan sebuah surat di lemari di kamar ibu. Surat itu berisi kalimat yang sampai sekarang masih menjadi tanda tanya besar bagiku. Surat itu berisi:
Wahai anakku tolong maafkan ibu, Nak. Ibu tidak bermaksud sekejam ini kepadamu, tapi jujur ibu belum siap. Jika tiba saatnya nanti ibu akan datang menjemputmu. Ibu sangat menyayangimu. Ibu harap kau tidak membenci ibu. Ibu mencintaimu. Tunggu ibu, Nak! Ibu akan datang.
Bi Asih tersenyum. “Indah, ibu inilah jawabannya. Dialah jawabannya, Nak.”
“Apa?” tanyaku masih tidak mengerti.
Perempuan yang ditemani Bi Asih itupun mendekat dan langsung memelukku. Di balik kerudungnya aku mendengar dia menangis sesegukan. Aku sendiri tidak tahu mengapa aku merasa dadaku sesak saat mendengarnya menangis. Rasanya sangat perih. Sama seperti saat aku mendengar ibu menangis dulu.
“Maafkan ibu, Nak!” ucap perempuan itu.
Aku terkejut mendengarnya bekata ‘ibu’. Apa maksudnya? Aku  melepaskan pelukannya dan bertanya kepada perempuan itu.
“Baik, ibu akan menceritakan semuanya. Tujuh belas tahun lalu, ibu datang ke rumah Rahma (nama ibuku). Saat itu ibu datang dengan membawa seorang bayi perempuan mungil yang baru lahir beberapa hari yang lalu. Rahma adalah sahabat lama ibu yang tinggal di desa ini sedangkan ibu sendiri berasal dari kota. Kami berteman saat masih SD dulu. Orang tua Rahma adalah pembantu di rumah ibu. Tapi beberapa tahun bekerja, mereka memutuskan untuk pulang ke desa ini dan membuka warung. Begitupun Rahma di bawah oleh mereka. Beberapa tahun kemudian saat SMA, ibu mengalami kejadian yang sangat memalukan. Ibu hamil di luar nikah. Dan pelakunya adalah pacar ibu sendiri. Dia adalah ayahmu, Indah. Orang tua ibu mengusir ibu dari rumah karena ibu menolak untuk menggugurkan kandungan ibu. Itu semua karena ibu tidak ingin menambah dosa yang telah ibu perbuat. Karena masih kebingungan dengan masa depan kamu, ibu akhirnya memutuskan untuk menitipkan bayi cantik kepada sahabat lama ibu. Sahabat yang sangat ibu percaya. Dia adalah wanita baik yang kamu panggil ibu selama ini, Nak. Dia sangat baik kepada ibu. Ibu bahkan tidak pernah menyangka dia akan pergi secepat ini. Dia telah membesarkan putri ibu hingga tumbuh dewaasa dan cantik seperti ini.”
Aku masih melongo dengan air mata yang tak mampu kubendung. Sangat sakit rasanya mengetahui kenyataan ini. Aku tidak menyesal telah dilahirkan dari perbuatan haram. Aku juga tidak menyalahkan ibuku kandungku yang baru datang sekarang dan mengakuiku sebagai putrinya setelah aku mengalami kehilangan dan penderitaan selama bertahun-tahun. Tapi aku menyesalkan mengapa aku tidak mengetahui kenyataan ini dari awal.
“Mungkin ibumu selama ini tidak menceritakan kisah ini kepadamu karena dia takut jika kau akan membenci ibu kandungmu, Nak.” sambung Bi Asih.
Aku tertunduk lesu kemudian bersimpuh memeluk makam ibu. Aku sangat menyayanginya melebihi apapun. Walaupun aku tidak terlahir dari rahimnya, tapi dia telah membesarkan, merawat dan mendidikku lebih dari sembilan bulan dimana hanya batas itu yang bisa dicapai oleh ibu kandungku. Adzan magrib pun berkumandang. Aku yang tadinya bergelut dengan air mata dan tanah lembab makam ibu sudah berdiri di atas sebuah sajadah bersama ibu yang baru hari ini kukenal. Aku kembali menangis saat mengacungkan tangan untuk berdoa dan mengucap syukur atas semua nikmat yang telah Dia limpahkan kepadaku selama ini. Aku berterima kasih atas kasih-Nya yang telah menghadirkan dua malaikat yang bernama IBU di dalam hidupku. Usai melaksanakan shalat, aku berdiri di dekat jendela dan memandang hampa keluar rumah. Besok pagi aku akan meninggalkan desa ini. Aku akan ikut ibuku ke kota. Di sana aku akan melanjutkan sekolahku dan insya allah akan mengukir kembali pelangi cita-cita dan mimpiku. Aku akan membuat ibuku yang berada di surga bangga dengan membahagiakan ibuku yang berada di dunia. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar